<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar/9752792?origin\x3dhttp://cintaku-rim.blogspot.com', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 
 

beriman kepada Malaikat | Sunday, December 26, 2004


Oleh; Ust.DR.Ahzami Sami'un Jazuli


......Diantara beda manusia dengan hayawan
(hewan) adalah al-iman bil malaikat (keimanan kepada Malaikat). Manusia
diperintahkan oleh Allah untuk beriman kepada Malaikat, padahal ia adalah
sesuatu yang ghoib. Sementara binatang hanya percaya kepada sesuatu yang
kelihatan, sesuatu yang terindera. Jadi kalau ada manusia yang hanya
percaya pada sesuatu yang terindera, berarti itulah kebinatangan dia. Unsur
insaniyahnya sudah tidak ada. Unsur humanismenya sudah terkikis, sehingga
lebih mendekati sifatnya hewan. Salah satu manhaj (metodologi) yang tidak
benar dari sebagian ummat Islam adalah bahwa mereka bisa menerima segala
sesuatu yang menurut akalnya tidak diterima. Diantaranya adalah cara
pemikiran Mu'tazilah, dimana mereka hanya menerima sesuatu yang dapat
diterima oleh akalnya saja. Meraka hanya percaya pada sesuatu yang sifatnya
mantiqi saja. Padahal Islam telah mengajarkan kepada kita untuk beriman
kepada yang ghoib, yang diantaranya adalah iman bil Malaikat. Inilah
perbedaan antara 'alamul Insan dengan 'alamul hayawan. Manusia diberi akal
oleh Allah, yang dengan akal itu manusia dapat memahami wahyu.Allah SWT,
yang diantaranya menyuruh kita untuk beriman kepada Malaikat.


Pokok kebaikan yang keempat (beriman kepada Kitab-kitab Allah dan beriman
kepada para Nabi). Apa target beriman kepada Kitab-kitab Allah dan para
Nabi dalam pembentukan persepsi ummat Islam ini? Target dari beriman kepada
kitabullah dan nabiyyin adalah iman kepada wahdatur risalah (iman kepada
kesatuan risalah, kesatuan misi yang dibawa para Nabi). Pada dasarnya
risalah Islamiyah yang diturunkan sejak dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad
itu sama. Kalaupun ada perbedaan, perbedaan-perbedaannya sangat sedikit,
dan hanya yang menyangkut tentang syari'at saja. Tetapi esensinya sama
saja, yaitu untuk mentauhidkan Allah SWT, dan kemudian tunduk kepada aturan
Allah SWT.


Adanya perbedaan syari'at merupakan sesuatu yang wajar, karena syari'at itu
diwajibkannya berkaitan dengan kondisi masing-masing ummat saat itu. Pada
jaman Nabi Adam a.s, salah satu syari'atnya adalah diperbolehkannya
perkawianan antar saudara. Ini karena manusia yang ada pada saat itu
hanyalah anak-anaknya Nabi Adam. Kalau anak Nabi Adam yang laki-laki tidak
boleh kawin dengan anak Nabi Adam yang perempuan, lalu kawin dengan siapa ?
Kawin dengan jin ? Pada waktu itu tidak ada manusia yang lain kecuali
saudaranya. Makanya diperbolehkan kawin antar saudara. Ini yang berkaitan
dengan syari'at. Adapun sekarang perkawinan antar saudara diharamkan. Ini
contoh konkrit bahwa wajar jika dalam masalah syari'at itu ada perbedaan
pada masing-masing ummat, karena memang kondisinya berbeda. Tetapi untuk
masalah aqidah, tidak ada perbedaan sama sekali.


Terdapatnya pemahaman bahwa aqidah para Nabi itu satu, akan dapat
menumbuhkan 'izzah kita sebagai seorang du'at. Ketika kita sedang berda'wah
untuk menggulirkan Risalah Islam ini, pada dasarnya kita berada pada
gerbong atau parade para Nabi. Kita berada pada rombongan dan barisan para
Rasul dan para Nabi yang menda'wahkan Islam. Ini karena pada dasarnya
risalah Islam adalah satu-satunya risalah yang diemban para Nabi dan para
Rasul. Kita juga mempunyai 'izzah karena teman-teman kita adalah
orang-orang sholihin. Ini yang harus kita angkat, karena ada orang yang
menyesal jadi seorang mu'min.
Kita harus mempunyai 'izzah dalam Islam ini. Kalau tidak mempunyai 'izzah
dalam berislam ini, bagaimana mungkin kita bisa menjadi seorang Da'i. Kalau
kita tidak mempunyai 'izzah sebagai seorang Da'i, bagaimana mungkin kita
akan berda'wah. Ini tujuan dari firman Allah dalam hubungan dengan keimanan
kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah dan beriman kepada para RasulNya.


Itulah pokok-pokok kebajikan bagian pertama tentang pokok-pokok kebajikan
yang berhubungan dengan keimanan, yang terdiri dari iman kepada Allah, Hari
Kemudian, Malaikat-malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, dan Nabi-nabi utusan
Allah, termasuk target dari keimanan tersebut.


Pada bagian yang kedua kiita akan membahas tentang pokok-pokok kebajikan
yang konkrit, yang dapat dirasakan langsung dalam kehidupan bermasyarakat.
Pokok-pokok kebajikan tersebut adalah :


Pertama (dan memberikan harta yang dicintainya).
Pada pokok kebajikan ini, kita tidak sekedar menginfaqkan harta kepada
orang yang berhak menerima saja, tetapi ketika kita infaq, maka yang kita
berikan adalah harta yang dicintai. Pada sebagian masyarakat, kalau mereka
melakukan sesuatu, biasanya itu adalah yang lebihan dari yang dimilikinya.
Jarang sekali memberikan sesuatu dari yang utamanya. Ketika berinfaq
biasanya dikeluarkan yang lebihannya. Kalau berda'wah, itu dilakukan dengan
tenaga sisanya. Kalau mengaji, waktu sisanya saja yang digunakan.
Singkatnya dalam melakukan amal Islami ini bukan dengan kemampuan yang
terbaik. Kemampuan yang terbaik dipergunakan kalau untuk kerja di kantor
atau hal-hal yang berhubungan dengan urusan ma'isyah. Tetapi kalau tinggal
ngantuknya, dipakai untuk mengaji. Sehingga kalau ngaji kelihatan "khusyuk"
dengan muka tertunduk, bukan karena tekun memperhatikan tetapi karena
tertidur. Bukan begitu seharusnya. Ta'bir yang dipergunakan ketika berinfaq
pada ayat ini adalah 'ala hubbihi (yang dicintai), yang terbaik. Pada masa
generasi salafush sholeh, ketika ulama'nya memakai baju dan santrinya ada
yang menyenangi, maka baju itu diberikannya. Itulah sikap para Ulama' pada
waktu itu. Sedangkan sikap para santrinya adalah menjaga jangan sampai
merasa senang dengan apa yang dimiliki para Ulama'nya. Sehingga ada rasa
saling menjaga antara Ulama dan santrinya. Jadi orang-orang yang
berinteraksi dengan Islam pada waktu itu ingin menyenangkan orang lain yang
berhubungan dengannya.


Diantara cara agar ukhuwwah kita dengan saudara kita bisa berlangsung akrab
adalah bahwa kita harus tahu apa yang disenangi ikhwah kita. Ada seorang
ikhwah yang dia sampai tahu nama-nama anak ikhwahnya yang lain, sehingga
ketika saling bersilahturahmi, nampak sekali keakraban ukhuwwah yang
dibinanya. Ini adalah contoh buat kita untuk kita tiru. Sampai-sampai ada
yang mengetahui selera saudaranya, tahu makanan kesukaannya, sehingga jika
suatu saat ikhwah kita ini silahturahmi ke rumah kita, kita bisa
menghidangkan apa-apa yang disukainya. Ini adalah kunci agar ukhuwwah kita
itu sangat erat.


Pada ayat ini Allah memakai ta'bir 'ata' bukan 'a'tho', padahal
terjemahannya dalam bahasa Indonesia sama saja yaitu "memberikan". Tetapi
dalam ilmu Al-Qur'an, pada keduanya ada perbedaan. Jika dipakai ata, itu
lebih kuat daripada a'tho. Makanya dalam firman-firmanNya yang menyuruh
kita berzakat aatu berinfaq, Allah selalu menggunakan kalimat 'ata', bukan
'a'tho', seperti wa atuz zakat, mamakai huruf ta' bukan tho'.Contohnya
adalah pada firman Allah :


Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang
yang rukur. (QS. 2:43)


Tetapi ketika Al-Qur'an menggambarkan orang-orang ahli kitab yang harus
membayar jizyah, kata Al-Qur'an menggunakan lafadz a'tho :


Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh
Allah Dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama
Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai
mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.
(QS. 9:29).


Disini Al-Qur'an menggunakan kalimat "yu'thul jizyata", yang berasal dari
a'tho. Orang-orang kafir itu membayar jizyah (pajak) pada negara Islam
karena perlindungan yang diberikan kepada mereka (ahli kitab yang tinggal
di negara Islam dilindungi, tidak boleh dimusuhi, tidak boleh diganggu, dan
sebagai timbal baliknya mereka harus membayar pajak, kecuali kalau mereka
masuk Islam maka tidak usah membayar pajak). Lafadz yang dipakai adalah
a'tho yaitu pada kalimat yu'thu. Kenapa ? Karena ketika ahli kitab membayar
jizyah bukan karena qona'ah tetapi karena terpaksa. Lain dengan ketika
ummat Islam yang membayar infaq atau zakat, maka membayarnya harus dengan
qona'ah. Kalau tidak qona'ah maka tidak akan mendapatkan pahala. Jadi tidak
boleh ada infaq yang diberikan dengan marah-marah.


Dalam Al-Qur'an, ada beberapa lafadz yang sepertinya mutarodhif (sinonim),
padahal sebenarnya bukan sinonim. Contohnya adalah antara ata dengan a'tho
ini. Kalimat-kalimat itu fungsinya lain-lain sesuai dengan tujuan
pemakainnya. Dan Al-Qur'an selalu menggunakan kalimat yang tepat sesuai
dengan tujuannya.


Begitu tinggi bahasa yang dipakai dalam Al-Qur'an, sehingga tidak ada yang
bisa menandinginya.


*************************
Created at 3:47 AM
*************************

 
welcome


hello

MENU

HOME

Cinta Ku

Cinta - Al- Qur'an & Hadist

Cinta - Artikel

Cinta - Berita

Cinta - Busana & Perkawinan

Cinta - Cerita

Cinta - Doa

Cinta - Kecantikan

Cinta - Kesehatan

Cinta - Liputan Khusus

Cinta - Masakan & Minuman

Cinta - Musik

Cinta - Muslimah

Cinta - Puisi

Cinta - Rukun Iman & Islam

Links


Archieve

December 2004[x] January 2005[x] October 2005[x]